Kamis, 12 Juni 2008
Rabu, 11 Juni 2008
Sekilas Pandang Pendidikan di Inggris
Saya berkesempatan untuk mengikuti short training di Leeds University, Inggris dengan biaya TPSDP (Technological and Professional Skills Development Project) -program bantuan ADB untuk perguruan Tinggi di seluruh Indonesia- dan merasakan bagaimana atmosfer pendidikan di sana. Memang waktu yang sangat singkat (1 bulan) tidak dapat mewakili gambaran secara lengkap pendidikan di Inggris namun cukup untuk mengamati dan mencerna seperti apa pendidikan, khususnya perguruan tinggi di sana dan ‘adapt and adopt’ hal-hal yang baik untuk diterapkan di Universitas Bina Darma.
Ada beberapa hal yang cukup menarik untuk diamati dan menjadi perhatian saya. Yang pertama, atmosfer akademik sangat terasa di lingkungan kampus dimana kampus menjadi rumah ke dua dan waktu mahasiswa sebagian besar dihabiskan di kampus untuk berdiskusi ataupun mengerjakan tugas di perpustakaan atau ‘help zone’-suatu area yang dirancang untuk membantu mahasiswa menyelesaikan tugas. Mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan biasanya satu tugas dengan referensi paling sedikit 5 buku atau jurnal yang harus dibaca untuk dapat disarikan dan dikutip sebagai penunjang dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Di sana tidak kita jumpai mahasiswa yang hanya duduk menunggu kelas berikutnya tanpa mengerjakan apapun karena mereka sangat menghargai waktu sehingga waktu yang tersedia mereka manfaatkan sebesar mungkin untuk belajar atau membaca. Budaya membaca tidak hanya dijumpai di kampus tetapi di dalam bis, stasiun, taman, bahkan di kafetaria dapat kita temukan orang yang makan siang sambil membaca. Sungguh pemandangan yang tidak lazim di Indonesia.
Yang kedua, pengajaran di perguruan tinggi di Indonesia umumnya menggunakan ‘lecturing style’ dimana dosen yang menjadi center dan mahasiswa menunggu informasi yang akan diberikan oleh dosen, tidak demikian halnya yang saya lihat di sana. Dengan didukung fasilitas belajar mengajar yang lengkap, dosen tidak selalu memulai dengan informasi yang ingin disampaikan tetapi juga mengaktifkan mahasiswa untuk berpartisipasi membahas dan mendiskusikan topik pada saat itu dengan menggunakan fasilitas-fasilitas belajar mengajar yang tersedia di dalam kelas termasuk fasilitas internet. Di lain waktu, mahasiswa yang ‘berperan’ sebagai dosen dimana mereka diberi tanggung jawab untuk membahas satu topik yang didiskusikan di dalam kelas. Yang sangat saya rasakan adalah mahasiswa sangat dituntut untuk aktif belajar mandiri dengan dosen sebagai fasilitator bukan sebagai satu-satunya sumber informasi karena metode yang diterapkan membuat mahasiswa menjadi aktif mencari informasi dari berbagai sumber tidak hanya menunggu masukan dari dosen. Hal ini dapat dimungkinkan mengingat kampus dilengkapi dengan perpustakaan yang memiliki koleksi yang kuantitas maupun kualitas yang relatif lebih baik dan perpustakaannya juga sudah didukung oleh teknologi informasi yang canggih sehingga memudahkan mahasiswa untuk meminjam maupun membaca melalui internet yang dapat diakses dimanapun.
Yang ketiga adalah budaya mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran untuk dapat disampaikan dengan kalimat dan cara yang baik di dalam kelas. Dalam satu kelas training yang saya ikuti ada 11 peserta dari Eropa dan 3 peserta dari Asia termasuk saya. Peserta dari Eropa saya rasakan lebih aktif menyampaikan pendapatnya termasuk ‘menentang’ informasi yang disampaikan oleh pengajar tentu saja dengan didukung oleh sumber-sumber informasi yang sudah dibaca. Padamulanya hal ini sangat mengganggu saya karena saya mau pengajar menyelesaikan dulu apa yang ingin disampaikan barulah disanggah apabila ada yang tidak sesuai. Namun karena masukan disampaikan dengan cara yang baik dan kemudian didiskusikan bersama, lama kelamaan saya dapat menerima hal ini. Menyampaikan sesuatu yang berbeda tidak diharamkan sepanjang disampaikan dengan cara-cara yang baik dan benar. Mahasiswa di Indonesia pada umumnya, dengan fasilitas terbatas dan budaya manut, menjadi mahasiswa yang pasif dan menerima apa yang disampaikan tanpa terbiasa memproses dan menganalisis masukan yang didapat. Masyarakat Eropa pada umumnya sejak dini sudah dibiasakan untuk mengekspresikan keinginan dan menganalisis kejadian yang ditemui. Hal ini sangat saya rasakan pada saat menonton tv dengan keluarga home stay dimana mereka sepanjang menonton terus membahas dan mendiskusikan apa saja yang dilihat dan didengar baik itu program berita maupun tontonan ringan seperti soap opera. Dari serangan Israel dan kebijakan Amerika yang berpihak sampai pakaian yang dikenakan oleh artis pendukung dikomentari dan dibahas. Bagi saya yang terbiasa menonton dengan tenang hal ini benar-benar mengganggu konsentrasi apalagi sekali-kali mereka juga meminta pendapat saya. Setelah saya renungi, kebiasaan ini berdampak positif pada keaktifan mahasiswa mengemukakan pendapat di dalam kelas dimana mereka di keluarga juga sudah terbiasa mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran.
Apa yang saya temui di sana tidak semuanya baik karena ada juga hal-hal yang saya rasakan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Namun hal-hal yang tidak baik tidak terlalu menjadi pengamatan saya sehingga tidak perlu saya ungkapkan di sini. Apa yang sudah disampaikan di atas, seperti yang sudah saya sampaikan di awal, tentu tidak dapat mewakili pendidikan di Inggris maupun di Indonesia karena hanya berdasarkan pengamatan dan kesimpulan saya sendiri. Mudah-mudahan ini dapat menjadi oleh-oleh bagi perguruan tinggi khususnya Universitas Bina Darma untuk terus memperbaiki dan mengembangkan hal-hal baik yang dapat diadopsi dari pengalaman ini.
Ada beberapa hal yang cukup menarik untuk diamati dan menjadi perhatian saya. Yang pertama, atmosfer akademik sangat terasa di lingkungan kampus dimana kampus menjadi rumah ke dua dan waktu mahasiswa sebagian besar dihabiskan di kampus untuk berdiskusi ataupun mengerjakan tugas di perpustakaan atau ‘help zone’-suatu area yang dirancang untuk membantu mahasiswa menyelesaikan tugas. Mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan biasanya satu tugas dengan referensi paling sedikit 5 buku atau jurnal yang harus dibaca untuk dapat disarikan dan dikutip sebagai penunjang dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Di sana tidak kita jumpai mahasiswa yang hanya duduk menunggu kelas berikutnya tanpa mengerjakan apapun karena mereka sangat menghargai waktu sehingga waktu yang tersedia mereka manfaatkan sebesar mungkin untuk belajar atau membaca. Budaya membaca tidak hanya dijumpai di kampus tetapi di dalam bis, stasiun, taman, bahkan di kafetaria dapat kita temukan orang yang makan siang sambil membaca. Sungguh pemandangan yang tidak lazim di Indonesia.
Yang kedua, pengajaran di perguruan tinggi di Indonesia umumnya menggunakan ‘lecturing style’ dimana dosen yang menjadi center dan mahasiswa menunggu informasi yang akan diberikan oleh dosen, tidak demikian halnya yang saya lihat di sana. Dengan didukung fasilitas belajar mengajar yang lengkap, dosen tidak selalu memulai dengan informasi yang ingin disampaikan tetapi juga mengaktifkan mahasiswa untuk berpartisipasi membahas dan mendiskusikan topik pada saat itu dengan menggunakan fasilitas-fasilitas belajar mengajar yang tersedia di dalam kelas termasuk fasilitas internet. Di lain waktu, mahasiswa yang ‘berperan’ sebagai dosen dimana mereka diberi tanggung jawab untuk membahas satu topik yang didiskusikan di dalam kelas. Yang sangat saya rasakan adalah mahasiswa sangat dituntut untuk aktif belajar mandiri dengan dosen sebagai fasilitator bukan sebagai satu-satunya sumber informasi karena metode yang diterapkan membuat mahasiswa menjadi aktif mencari informasi dari berbagai sumber tidak hanya menunggu masukan dari dosen. Hal ini dapat dimungkinkan mengingat kampus dilengkapi dengan perpustakaan yang memiliki koleksi yang kuantitas maupun kualitas yang relatif lebih baik dan perpustakaannya juga sudah didukung oleh teknologi informasi yang canggih sehingga memudahkan mahasiswa untuk meminjam maupun membaca melalui internet yang dapat diakses dimanapun.
Yang ketiga adalah budaya mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran untuk dapat disampaikan dengan kalimat dan cara yang baik di dalam kelas. Dalam satu kelas training yang saya ikuti ada 11 peserta dari Eropa dan 3 peserta dari Asia termasuk saya. Peserta dari Eropa saya rasakan lebih aktif menyampaikan pendapatnya termasuk ‘menentang’ informasi yang disampaikan oleh pengajar tentu saja dengan didukung oleh sumber-sumber informasi yang sudah dibaca. Padamulanya hal ini sangat mengganggu saya karena saya mau pengajar menyelesaikan dulu apa yang ingin disampaikan barulah disanggah apabila ada yang tidak sesuai. Namun karena masukan disampaikan dengan cara yang baik dan kemudian didiskusikan bersama, lama kelamaan saya dapat menerima hal ini. Menyampaikan sesuatu yang berbeda tidak diharamkan sepanjang disampaikan dengan cara-cara yang baik dan benar. Mahasiswa di Indonesia pada umumnya, dengan fasilitas terbatas dan budaya manut, menjadi mahasiswa yang pasif dan menerima apa yang disampaikan tanpa terbiasa memproses dan menganalisis masukan yang didapat. Masyarakat Eropa pada umumnya sejak dini sudah dibiasakan untuk mengekspresikan keinginan dan menganalisis kejadian yang ditemui. Hal ini sangat saya rasakan pada saat menonton tv dengan keluarga home stay dimana mereka sepanjang menonton terus membahas dan mendiskusikan apa saja yang dilihat dan didengar baik itu program berita maupun tontonan ringan seperti soap opera. Dari serangan Israel dan kebijakan Amerika yang berpihak sampai pakaian yang dikenakan oleh artis pendukung dikomentari dan dibahas. Bagi saya yang terbiasa menonton dengan tenang hal ini benar-benar mengganggu konsentrasi apalagi sekali-kali mereka juga meminta pendapat saya. Setelah saya renungi, kebiasaan ini berdampak positif pada keaktifan mahasiswa mengemukakan pendapat di dalam kelas dimana mereka di keluarga juga sudah terbiasa mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran.
Apa yang saya temui di sana tidak semuanya baik karena ada juga hal-hal yang saya rasakan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Namun hal-hal yang tidak baik tidak terlalu menjadi pengamatan saya sehingga tidak perlu saya ungkapkan di sini. Apa yang sudah disampaikan di atas, seperti yang sudah saya sampaikan di awal, tentu tidak dapat mewakili pendidikan di Inggris maupun di Indonesia karena hanya berdasarkan pengamatan dan kesimpulan saya sendiri. Mudah-mudahan ini dapat menjadi oleh-oleh bagi perguruan tinggi khususnya Universitas Bina Darma untuk terus memperbaiki dan mengembangkan hal-hal baik yang dapat diadopsi dari pengalaman ini.
Selasa, 10 Juni 2008
Siapa Bilang Berobat ke Singapura Mahal
Ayah saya mengalami penyempitan pembuluh darah ke jantung sehingga harus dioperasi dengan memasang cincin pada pembuluh darah yang bermasalah agar aliran darah dapat berjalan lancar dan sehat kembali. Mendengar keputusan dokter di Palembang bahwa ayah saya harus dioperasi, rasanya seperti akan kiamat. Perasaan sedih berkecamuk di dalam dada. Kalau penyakit biasa mungkin tidak terlalu risau, tapi operasi di jantung...waduh bagaimana ini.
Walaupun beresiko tetapi ayah memutuskan untuk tetap melakukan operasi pemasangan cincin pada pembuluh darah. Namun kekhawatiran tentu saja ada, karenanya ayah bertanya ke beberapa teman dan saudara yang pernah menjalani operasi jantung dan tentu saja tetap berkonsultasi dengan dokter ahli. Setelah mendapatkan informasi dari berbagai pihak dan dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan masukan yang didengar, akhirnya diputuskan untuk melakukan operasi di Singapura sesuai dengan anjuran dokter yang menangani ayah. Keputusan ini tentu saja berdampak pada kesiapan finansial karena berobat di luar negeri membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Saya memutuskan untuk menemani ayah operasi di Singapura karena ibu saya tidak menguasai bahasa Inggris sehingga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka saya diharapkan dapat mengurus segala sesuatunya karena bahasa Inggris saya lumayan baik, paling tidak komunikasi dapat berjalan lancar. Walaupun, ternyata ibu dapat berkomunikasi dengan perawat dan petugas rumah sakit karena rata-rata mereka dapat berbahasa melayu. Jadi sebetulnya bahasa tidak terlalu menjadi kendala untuk berobat di Singapura.
Dari Palembang, ibu membawa sedikit bekal makanan karena khawatir akan kesulitan mendapatkan makanan halal di sana. Bekal finansial pun sudah dipersiapkan secukupnya. Dan akhirnya kami sekeluarga berangkat hari Minggu dengan Silk Air langsung Palembang-Singapura. Perjalanan ternyata cukup singkat karena hanya dibutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke Singapura. Rasanya seperti berangkat ke Jakarta saja. Untuk sampai ke Hotel Elizabeth dari bandara pun hanya memakan waktu 15 menit. Perjalanan yang tidak terlalu melelahkan untuk orang sakit yang akan berobat karena tidak terasa, eh...sudah sampai tujuan.
Keesokan harinya, kami berjalan kaki ke Rumah Sakit Mount Elizabeth yang lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel. Sampai di sana sudah banyak sekali pasien yang antri menunggu giliran. Saya berkata dalam hati,”Wah, bisa sampai sore saya di sini, apalagi yang melayani hanya 3 orang petugas.” Tetapi ternyata dugaan saya salah besar karena tak lama kemudian ayah saya dipanggil untuk segera diperiksa. Saya sempat terheran-heran bagaimana cekatannya petugas memeriksa pasien yang, tentu saja, dibantu dengan peralatan medis yang canggih. Pemeriksaan bisa berjalan dengan cepat karena satu petugas langsung menyelesaikan semua tes dan pemeriksaan yang harus dilalui pasien tanpa harus dirujuk ke bagian lain yang berarti petugas juga memiliki sejumlah kompetensi untuk menggunakan alat-alat medis yang berbeda-beda. Bukan main, pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh beberapa orang dapat diselesaikan dengan cepat cukup oleh 1 orang petugas saja.
Setelah mendapatkan hasil maka ayah saya dirujuk ke ruang operasi. Tak berapa lama dokter yang menangani datang dan menyapa dengan ramah. Proses operasi tidak terlalu lama, dan berdasarkan cerita ayah, operasi dilakukan dengan bius lokal jadi ayah dapat melihat langsung proses operasi dari tv yang disediakan di kamar dan bahkan dapat bertanya dengan dokter mengenai hal-hal yang ingin diketahui.
Pasca operasi, ayah kelihatan sehat dan tidak merasakan sakitnya operasi. Ayah sudah dapat melakukan aktifitas seperti biasa karena ternyata operasi hanya membutuhkan sedikit sayatan kira-kira 4 cm di pangkal paha untuk memasukkan cincin melalui pembuluh darah. Setelah sayatan dijahit kembali maka ayah dianjurkan untuk beristirahat selama 2 hari.
Hari Rabu, ayah ke luar dari rumah sakit dan operasi dinyatakan berhasil. Tentu saja kami gembira mendengar hal ini. Hari Kamis, kami sudah bersiap-siap pulang ke Palembang namun sebelum pulang kami berkonsultasi dulu dengan dokter untuk menanyakan kemungkinan perjalanan yang akan kami tempuh mengingat ayah baru selesai operasi. Ternyata dokter menyatakan tidak masalah karena penerbangan relatif singkat dan kondisi ayah dinyatakan baik. Akhirnya kami pulang ke Palembang dengan meninggalkan bekal makanan yang dibawa ibu karena ternyata tidak susah mendapatkan makanan halal di Singapura.
Alhamdullilah, kami sekeluarga bersyukur atas kesembuhan ayah. Bekal finansial yang kami persiapkan masih ada sisanya karena ternyata biaya berobat ke Singapura tidak semahal yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena ayah hanya menghabiskan waktu 3 hari di rumah sakit. Kalau membandingkan dengan teman ayah yang melakukan operasi yang sama di Jakarta namun penyembuhannya memakan waktu 1 bulan lamanya, ternyata biaya yang dikeluarkan relatif sama. Pelayanan dan kelengkapan peralatan medis di rumah sakit juga menjadi nilai tambah tersendiri. Sekarang ayah saya sudah sehat dan dapat beraktifitas seperti biasa.
Walaupun beresiko tetapi ayah memutuskan untuk tetap melakukan operasi pemasangan cincin pada pembuluh darah. Namun kekhawatiran tentu saja ada, karenanya ayah bertanya ke beberapa teman dan saudara yang pernah menjalani operasi jantung dan tentu saja tetap berkonsultasi dengan dokter ahli. Setelah mendapatkan informasi dari berbagai pihak dan dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan masukan yang didengar, akhirnya diputuskan untuk melakukan operasi di Singapura sesuai dengan anjuran dokter yang menangani ayah. Keputusan ini tentu saja berdampak pada kesiapan finansial karena berobat di luar negeri membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Saya memutuskan untuk menemani ayah operasi di Singapura karena ibu saya tidak menguasai bahasa Inggris sehingga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka saya diharapkan dapat mengurus segala sesuatunya karena bahasa Inggris saya lumayan baik, paling tidak komunikasi dapat berjalan lancar. Walaupun, ternyata ibu dapat berkomunikasi dengan perawat dan petugas rumah sakit karena rata-rata mereka dapat berbahasa melayu. Jadi sebetulnya bahasa tidak terlalu menjadi kendala untuk berobat di Singapura.
Dari Palembang, ibu membawa sedikit bekal makanan karena khawatir akan kesulitan mendapatkan makanan halal di sana. Bekal finansial pun sudah dipersiapkan secukupnya. Dan akhirnya kami sekeluarga berangkat hari Minggu dengan Silk Air langsung Palembang-Singapura. Perjalanan ternyata cukup singkat karena hanya dibutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke Singapura. Rasanya seperti berangkat ke Jakarta saja. Untuk sampai ke Hotel Elizabeth dari bandara pun hanya memakan waktu 15 menit. Perjalanan yang tidak terlalu melelahkan untuk orang sakit yang akan berobat karena tidak terasa, eh...sudah sampai tujuan.
Keesokan harinya, kami berjalan kaki ke Rumah Sakit Mount Elizabeth yang lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel. Sampai di sana sudah banyak sekali pasien yang antri menunggu giliran. Saya berkata dalam hati,”Wah, bisa sampai sore saya di sini, apalagi yang melayani hanya 3 orang petugas.” Tetapi ternyata dugaan saya salah besar karena tak lama kemudian ayah saya dipanggil untuk segera diperiksa. Saya sempat terheran-heran bagaimana cekatannya petugas memeriksa pasien yang, tentu saja, dibantu dengan peralatan medis yang canggih. Pemeriksaan bisa berjalan dengan cepat karena satu petugas langsung menyelesaikan semua tes dan pemeriksaan yang harus dilalui pasien tanpa harus dirujuk ke bagian lain yang berarti petugas juga memiliki sejumlah kompetensi untuk menggunakan alat-alat medis yang berbeda-beda. Bukan main, pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh beberapa orang dapat diselesaikan dengan cepat cukup oleh 1 orang petugas saja.
Setelah mendapatkan hasil maka ayah saya dirujuk ke ruang operasi. Tak berapa lama dokter yang menangani datang dan menyapa dengan ramah. Proses operasi tidak terlalu lama, dan berdasarkan cerita ayah, operasi dilakukan dengan bius lokal jadi ayah dapat melihat langsung proses operasi dari tv yang disediakan di kamar dan bahkan dapat bertanya dengan dokter mengenai hal-hal yang ingin diketahui.
Pasca operasi, ayah kelihatan sehat dan tidak merasakan sakitnya operasi. Ayah sudah dapat melakukan aktifitas seperti biasa karena ternyata operasi hanya membutuhkan sedikit sayatan kira-kira 4 cm di pangkal paha untuk memasukkan cincin melalui pembuluh darah. Setelah sayatan dijahit kembali maka ayah dianjurkan untuk beristirahat selama 2 hari.
Hari Rabu, ayah ke luar dari rumah sakit dan operasi dinyatakan berhasil. Tentu saja kami gembira mendengar hal ini. Hari Kamis, kami sudah bersiap-siap pulang ke Palembang namun sebelum pulang kami berkonsultasi dulu dengan dokter untuk menanyakan kemungkinan perjalanan yang akan kami tempuh mengingat ayah baru selesai operasi. Ternyata dokter menyatakan tidak masalah karena penerbangan relatif singkat dan kondisi ayah dinyatakan baik. Akhirnya kami pulang ke Palembang dengan meninggalkan bekal makanan yang dibawa ibu karena ternyata tidak susah mendapatkan makanan halal di Singapura.
Alhamdullilah, kami sekeluarga bersyukur atas kesembuhan ayah. Bekal finansial yang kami persiapkan masih ada sisanya karena ternyata biaya berobat ke Singapura tidak semahal yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena ayah hanya menghabiskan waktu 3 hari di rumah sakit. Kalau membandingkan dengan teman ayah yang melakukan operasi yang sama di Jakarta namun penyembuhannya memakan waktu 1 bulan lamanya, ternyata biaya yang dikeluarkan relatif sama. Pelayanan dan kelengkapan peralatan medis di rumah sakit juga menjadi nilai tambah tersendiri. Sekarang ayah saya sudah sehat dan dapat beraktifitas seperti biasa.
Senin, 02 Juni 2008
Liburan ke Belanda
Kalau mau jalan-jalan ke Eropa jangan melewatkan Belanda. Pemerintah Belanda betul-betul ramah dengan turis manca negara. Pusat informasi disediakan di hampir setiap sudut. Apabila butuh informasi, cukup mencari lambang tanda tanya (?) berwarna kuning, maka dengan cekatan mereka akan membantu memberi informasi yang kita butuhkan. Hal ini dimungkinkan dengan bantuan teknologi informasi yang canggih dan terkoneksi.
Kalau berkunjung ke Eropa jangan lupa untuk membuat schengen visa sebagai pass untuk berkeliling di 23 negara yang tergabung dalam uni eropa. Tapi, apabila kita memilih Belanda sebagai negara kunjungan pertama, kita harus melalui tahap wawancara di kedubes belanda di jkt, so jadikan belanda sebagai negara kunjungan ke 2 or selanjutnya supaya gak repot dengan pengurusan visa karena dapat dilakukan melalui agen perjalanan.
Banyak sekali paket-paket wisata dalam bentuk brosur yg dapat diambil pada saat check-in di Hotel. Sepertinya sudah terjalin kerjasama yg cukup baik antara penyedia paket wisata dengan hotel-hotel yang ada. Brosur paket-paket wisata yang tersedia sama banyaknya seperti pada saat kita baru sampai di bandara Ngurah Rai, Bali. Kita tinggal mencari informasi dan memilih tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Saya tiba d schipol air port, kota yang sangat ramah. Dari bandara, saya beli karcis kereta api di mesin (rada sedikit bingung karena harus berhubungan dgn mesin instead of manusia, maklum blum terbiasa) menuju central station. Sampai di central station, sy mencari informasi ttg Amstel Boatel tempat saya akan menginap. Amstel Boatel adalah hotel bintang 3 yg berasal dari kapal. Karena itu hotel ini ada di atas sungai persis di sebelah Indonesian Floating Restaurant.
Setiba di resepsionis, saya mengambil beberapa brosur paket wisata yang saya bawa ke kamar. Saya agak surprise dalam brosur ada paket " Tour to the Redlight District". Bertambah kaget lagi setelah membaca keterangan paket yang dimaksud. Paket ini adalah paket berkunjung ke lokalisasi dimana tour leadernya seorang PSK. Weleh...weleh....Saya cukup kagum dengan kreatifitas orang Belanda menciptakan paket-paket yg cukup unik yang saya yakin kalau di Indonesia paket ini pasti akan ditentang habizzzz.
Sebetulnya paket dimaksud cukup menarik, tetapi karena saya traveling sendiri saya tidak berani mencoba walaupun dapat jaminan aman dari pihak hotel karena berangkat dalam rombongan. Saya memilih paket-paket aman yang sama menariknya.
Hari pertama saya habiskan berjalan-jalan di Amsterdam dengan hoop in hoop off. Karena Amsterdam terdiri dari kanal-kanal, maka dengan mudah kita dapat berjalan dan membaca peta yg tersedia. Saya ke Madam Tusaud/ patung lilin dan berfoto dengan Queen Beatrix, Lady Diana, Pierce Brosnan, dan banyak lagi yang lain. Sayang, hasil fotonya agak sedikit kabur. Saya juga sempat mampir di Gasan diamond factory. Waktu datang, masing-masing peserta ditanya asal negara. Ternyata, ada leader yg akan menemani tour dan saya sendiri dapat tour guide dari Indonesia. Namanya Mira, dia sudah 10 tahun di Belanda setelah menamatkan S1 nya di jkt. Karena sy sendiri yg berasal dari indonesia, jdnya hanya berdua aja n bs lebih banyak tanya ttg diamond. Dari kunjungan itu saya tau ada 4 C yang menentukan harga berlian. 1) Carrat, makin besar carratnya makin mahal harganya, 2) Colour, warna yg paling bagus warna biru jadi waktu dipotong kilaunya lebih menonjol, setelah biru putih dan yg terakhir kuning. Di martapura kebanyakan warna berlian kuning. 3) Cutting, makin banyak cutting maka makin mahal. Pada saat ke sana thn 2006, ada cutting terbaru dgn 210 sayatan. Wah, kebayang gak kilaunya. Tapi sayatan ini harus minimal 1 carrat karena kalo kurang dari itu maka berliannya akan hancur. Yang terakhir 4) Clarity. Ini sih baru bisa terlihat dengan alat khusus untuk melihat bubble or spot yg ada pada berlian. Karena berlian hasil alam, jarang ada berlian yg benar-benar sempurna. Akhirnya, setelah mendapat penjelasan panjang lebar, sy membeli cincin yg cukup menguras kantong. Hik....hik...hik.... Packagingnya rapi bgt n ada sertifikat keasliannya yg berlaku secara Internasional karena Gassan ada di beberapa negara termasuk outlet di jkt.
Hari kedua saya ikut paket ke Madurodam, melihat miniatur Belanda. Berbeda dgn taman mini yg tidak mini, di sana semuanya betul-betul dalam ukuran mini. Saya sempat menitikkan airmata waktu melihat peasawat Garuda parkir di landasan Schipol. Otw, ke Maduraodam, rombongan mampir ke Delft melihat pembuatan pottery. Delft terkenal dengan hasil tembikarnya.
Saya ingin sekali melihat bunga tulip di hokenkoff, tapi sayang baru berbunga di bulan Maret-Mei sedangkan saya datang pada bulan Juli. Sehingga saya putuskan untuk melihat volendam, desa nelayan dan pembuat keju.
Masih banyak yg bisa diceritakan di Belanda, karena saya bertemu dengan orang Belanda yg pernah ke Indonesia yg sepertinya illfeel, so dia always nice to me...... Sampai di sini dulu ya........
Kalau berkunjung ke Eropa jangan lupa untuk membuat schengen visa sebagai pass untuk berkeliling di 23 negara yang tergabung dalam uni eropa. Tapi, apabila kita memilih Belanda sebagai negara kunjungan pertama, kita harus melalui tahap wawancara di kedubes belanda di jkt, so jadikan belanda sebagai negara kunjungan ke 2 or selanjutnya supaya gak repot dengan pengurusan visa karena dapat dilakukan melalui agen perjalanan.
Banyak sekali paket-paket wisata dalam bentuk brosur yg dapat diambil pada saat check-in di Hotel. Sepertinya sudah terjalin kerjasama yg cukup baik antara penyedia paket wisata dengan hotel-hotel yang ada. Brosur paket-paket wisata yang tersedia sama banyaknya seperti pada saat kita baru sampai di bandara Ngurah Rai, Bali. Kita tinggal mencari informasi dan memilih tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Saya tiba d schipol air port, kota yang sangat ramah. Dari bandara, saya beli karcis kereta api di mesin (rada sedikit bingung karena harus berhubungan dgn mesin instead of manusia, maklum blum terbiasa) menuju central station. Sampai di central station, sy mencari informasi ttg Amstel Boatel tempat saya akan menginap. Amstel Boatel adalah hotel bintang 3 yg berasal dari kapal. Karena itu hotel ini ada di atas sungai persis di sebelah Indonesian Floating Restaurant.
Setiba di resepsionis, saya mengambil beberapa brosur paket wisata yang saya bawa ke kamar. Saya agak surprise dalam brosur ada paket " Tour to the Redlight District". Bertambah kaget lagi setelah membaca keterangan paket yang dimaksud. Paket ini adalah paket berkunjung ke lokalisasi dimana tour leadernya seorang PSK. Weleh...weleh....Saya cukup kagum dengan kreatifitas orang Belanda menciptakan paket-paket yg cukup unik yang saya yakin kalau di Indonesia paket ini pasti akan ditentang habizzzz.
Sebetulnya paket dimaksud cukup menarik, tetapi karena saya traveling sendiri saya tidak berani mencoba walaupun dapat jaminan aman dari pihak hotel karena berangkat dalam rombongan. Saya memilih paket-paket aman yang sama menariknya.
Hari pertama saya habiskan berjalan-jalan di Amsterdam dengan hoop in hoop off. Karena Amsterdam terdiri dari kanal-kanal, maka dengan mudah kita dapat berjalan dan membaca peta yg tersedia. Saya ke Madam Tusaud/ patung lilin dan berfoto dengan Queen Beatrix, Lady Diana, Pierce Brosnan, dan banyak lagi yang lain. Sayang, hasil fotonya agak sedikit kabur. Saya juga sempat mampir di Gasan diamond factory. Waktu datang, masing-masing peserta ditanya asal negara. Ternyata, ada leader yg akan menemani tour dan saya sendiri dapat tour guide dari Indonesia. Namanya Mira, dia sudah 10 tahun di Belanda setelah menamatkan S1 nya di jkt. Karena sy sendiri yg berasal dari indonesia, jdnya hanya berdua aja n bs lebih banyak tanya ttg diamond. Dari kunjungan itu saya tau ada 4 C yang menentukan harga berlian. 1) Carrat, makin besar carratnya makin mahal harganya, 2) Colour, warna yg paling bagus warna biru jadi waktu dipotong kilaunya lebih menonjol, setelah biru putih dan yg terakhir kuning. Di martapura kebanyakan warna berlian kuning. 3) Cutting, makin banyak cutting maka makin mahal. Pada saat ke sana thn 2006, ada cutting terbaru dgn 210 sayatan. Wah, kebayang gak kilaunya. Tapi sayatan ini harus minimal 1 carrat karena kalo kurang dari itu maka berliannya akan hancur. Yang terakhir 4) Clarity. Ini sih baru bisa terlihat dengan alat khusus untuk melihat bubble or spot yg ada pada berlian. Karena berlian hasil alam, jarang ada berlian yg benar-benar sempurna. Akhirnya, setelah mendapat penjelasan panjang lebar, sy membeli cincin yg cukup menguras kantong. Hik....hik...hik.... Packagingnya rapi bgt n ada sertifikat keasliannya yg berlaku secara Internasional karena Gassan ada di beberapa negara termasuk outlet di jkt.
Hari kedua saya ikut paket ke Madurodam, melihat miniatur Belanda. Berbeda dgn taman mini yg tidak mini, di sana semuanya betul-betul dalam ukuran mini. Saya sempat menitikkan airmata waktu melihat peasawat Garuda parkir di landasan Schipol. Otw, ke Maduraodam, rombongan mampir ke Delft melihat pembuatan pottery. Delft terkenal dengan hasil tembikarnya.
Saya ingin sekali melihat bunga tulip di hokenkoff, tapi sayang baru berbunga di bulan Maret-Mei sedangkan saya datang pada bulan Juli. Sehingga saya putuskan untuk melihat volendam, desa nelayan dan pembuat keju.
Masih banyak yg bisa diceritakan di Belanda, karena saya bertemu dengan orang Belanda yg pernah ke Indonesia yg sepertinya illfeel, so dia always nice to me...... Sampai di sini dulu ya........
Minggu, 01 Juni 2008
Canada World Youth (CWY)
Saya adalah salah satu peserta CWY angkatan tahun 1987. CWY adalah program yang didanai oleh pemerintah Canada bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui Diknas. Programnya selama kurang lebih 9bulan dilaksanakan di Canada maupun di Indonesia. Setiap provinsi mengirm wakil yang akan diseleksi di jakarta untuk menentukan apakah ybs layak berangkat atau tidak.
Saya berangkat tahun 1987 dan ditempatkan di Fort Frances, Ontario yang berbatasan dengan Amerika.Pada saat winter dimana air sungai yang membatasi fort frances dan Amerika mengeras ada sapi yg menyebrang sampai ke amerika. Si sapi bikin repot yg punya karena proses pengembalian membutuhkan administrasi dan proses karantina yang panjang. Ada-ada aja si sapi....
Cukup banyak kenangan dan pengalaman yang saya rasakan selama di Canada. Kami juga pernah culture show di Toronto University. Pengunjung cukup banyak dan banyak pertanyaan termasuk "Indonesia di sebelah mana Bali?" Weleh...weleh.....
Mudah2an tulisan ini dapat menyambungkan saya dan teman-teman lain dari seluruh Indonesia yang pernah ke Canada.
Chayoooo
Saya berangkat tahun 1987 dan ditempatkan di Fort Frances, Ontario yang berbatasan dengan Amerika.Pada saat winter dimana air sungai yang membatasi fort frances dan Amerika mengeras ada sapi yg menyebrang sampai ke amerika. Si sapi bikin repot yg punya karena proses pengembalian membutuhkan administrasi dan proses karantina yang panjang. Ada-ada aja si sapi....
Cukup banyak kenangan dan pengalaman yang saya rasakan selama di Canada. Kami juga pernah culture show di Toronto University. Pengunjung cukup banyak dan banyak pertanyaan termasuk "Indonesia di sebelah mana Bali?" Weleh...weleh.....
Mudah2an tulisan ini dapat menyambungkan saya dan teman-teman lain dari seluruh Indonesia yang pernah ke Canada.
Chayoooo
Langganan:
Postingan (Atom)