Selasa, 10 Juni 2008

Siapa Bilang Berobat ke Singapura Mahal

Ayah saya mengalami penyempitan pembuluh darah ke jantung sehingga harus dioperasi dengan memasang cincin pada pembuluh darah yang bermasalah agar aliran darah dapat berjalan lancar dan sehat kembali. Mendengar keputusan dokter di Palembang bahwa ayah saya harus dioperasi, rasanya seperti akan kiamat. Perasaan sedih berkecamuk di dalam dada. Kalau penyakit biasa mungkin tidak terlalu risau, tapi operasi di jantung...waduh bagaimana ini.
Walaupun beresiko tetapi ayah memutuskan untuk tetap melakukan operasi pemasangan cincin pada pembuluh darah. Namun kekhawatiran tentu saja ada, karenanya ayah bertanya ke beberapa teman dan saudara yang pernah menjalani operasi jantung dan tentu saja tetap berkonsultasi dengan dokter ahli. Setelah mendapatkan informasi dari berbagai pihak dan dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan masukan yang didengar, akhirnya diputuskan untuk melakukan operasi di Singapura sesuai dengan anjuran dokter yang menangani ayah. Keputusan ini tentu saja berdampak pada kesiapan finansial karena berobat di luar negeri membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Saya memutuskan untuk menemani ayah operasi di Singapura karena ibu saya tidak menguasai bahasa Inggris sehingga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka saya diharapkan dapat mengurus segala sesuatunya karena bahasa Inggris saya lumayan baik, paling tidak komunikasi dapat berjalan lancar. Walaupun, ternyata ibu dapat berkomunikasi dengan perawat dan petugas rumah sakit karena rata-rata mereka dapat berbahasa melayu. Jadi sebetulnya bahasa tidak terlalu menjadi kendala untuk berobat di Singapura.
Dari Palembang, ibu membawa sedikit bekal makanan karena khawatir akan kesulitan mendapatkan makanan halal di sana. Bekal finansial pun sudah dipersiapkan secukupnya. Dan akhirnya kami sekeluarga berangkat hari Minggu dengan Silk Air langsung Palembang-Singapura. Perjalanan ternyata cukup singkat karena hanya dibutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke Singapura. Rasanya seperti berangkat ke Jakarta saja. Untuk sampai ke Hotel Elizabeth dari bandara pun hanya memakan waktu 15 menit. Perjalanan yang tidak terlalu melelahkan untuk orang sakit yang akan berobat karena tidak terasa, eh...sudah sampai tujuan.
Keesokan harinya, kami berjalan kaki ke Rumah Sakit Mount Elizabeth yang lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel. Sampai di sana sudah banyak sekali pasien yang antri menunggu giliran. Saya berkata dalam hati,”Wah, bisa sampai sore saya di sini, apalagi yang melayani hanya 3 orang petugas.” Tetapi ternyata dugaan saya salah besar karena tak lama kemudian ayah saya dipanggil untuk segera diperiksa. Saya sempat terheran-heran bagaimana cekatannya petugas memeriksa pasien yang, tentu saja, dibantu dengan peralatan medis yang canggih. Pemeriksaan bisa berjalan dengan cepat karena satu petugas langsung menyelesaikan semua tes dan pemeriksaan yang harus dilalui pasien tanpa harus dirujuk ke bagian lain yang berarti petugas juga memiliki sejumlah kompetensi untuk menggunakan alat-alat medis yang berbeda-beda. Bukan main, pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh beberapa orang dapat diselesaikan dengan cepat cukup oleh 1 orang petugas saja.
Setelah mendapatkan hasil maka ayah saya dirujuk ke ruang operasi. Tak berapa lama dokter yang menangani datang dan menyapa dengan ramah. Proses operasi tidak terlalu lama, dan berdasarkan cerita ayah, operasi dilakukan dengan bius lokal jadi ayah dapat melihat langsung proses operasi dari tv yang disediakan di kamar dan bahkan dapat bertanya dengan dokter mengenai hal-hal yang ingin diketahui.
Pasca operasi, ayah kelihatan sehat dan tidak merasakan sakitnya operasi. Ayah sudah dapat melakukan aktifitas seperti biasa karena ternyata operasi hanya membutuhkan sedikit sayatan kira-kira 4 cm di pangkal paha untuk memasukkan cincin melalui pembuluh darah. Setelah sayatan dijahit kembali maka ayah dianjurkan untuk beristirahat selama 2 hari.
Hari Rabu, ayah ke luar dari rumah sakit dan operasi dinyatakan berhasil. Tentu saja kami gembira mendengar hal ini. Hari Kamis, kami sudah bersiap-siap pulang ke Palembang namun sebelum pulang kami berkonsultasi dulu dengan dokter untuk menanyakan kemungkinan perjalanan yang akan kami tempuh mengingat ayah baru selesai operasi. Ternyata dokter menyatakan tidak masalah karena penerbangan relatif singkat dan kondisi ayah dinyatakan baik. Akhirnya kami pulang ke Palembang dengan meninggalkan bekal makanan yang dibawa ibu karena ternyata tidak susah mendapatkan makanan halal di Singapura.
Alhamdullilah, kami sekeluarga bersyukur atas kesembuhan ayah. Bekal finansial yang kami persiapkan masih ada sisanya karena ternyata biaya berobat ke Singapura tidak semahal yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena ayah hanya menghabiskan waktu 3 hari di rumah sakit. Kalau membandingkan dengan teman ayah yang melakukan operasi yang sama di Jakarta namun penyembuhannya memakan waktu 1 bulan lamanya, ternyata biaya yang dikeluarkan relatif sama. Pelayanan dan kelengkapan peralatan medis di rumah sakit juga menjadi nilai tambah tersendiri. Sekarang ayah saya sudah sehat dan dapat beraktifitas seperti biasa.

Tidak ada komentar: